Eksistensi masyarakat hukum adat tentang adat Silariang dan Mappacci di Suku Bugis dan Makassar - Ukhy Knowledge

Saturday 24 February 2018

Eksistensi masyarakat hukum adat tentang adat Silariang dan Mappacci di Suku Bugis dan Makassar

Tentang adat Silariang di Suku Bugis dan Makassar
Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku atau ada Makassar. Suku lainnya pun di Indonesia pun mengenalnya. Hanya saja yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan pada kedua pelaku Silariang. Kalau pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi pada suku Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.
Kawin Silariang ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga tak menyetujui hubungan asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan strata sosial, atau karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah, sehingga mereka mengambil jalan pintas, yakni melalukan Silariang.
Walaupun kedua pasangan Silariang ini menyadari, bahwa tindakan Silariang ini penuh resiko, tetapi inilah jalan yang terbaik baginya untuk membina rumah tangga dengan kekasihnya kelak.
Menurut Tika, Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah pemuda/laki-laki dengan gadis/ perempuan lari bersama-sama atas kehendak sendiri. Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama, dimana perkawinan menimbulkan siri’ bagi keluarga khususnya bagi keluarga perempuan, dan kepadanya dikenakan sanksi adat.

Image result for mappacci
Mappaci (Malam Pacaran bagi Suku Bugis dan Makassar)

Tentang adat Mappacci di Suku Bugis dan Makassar
Upacara adat Mappacci merupakan sebuah rangkaian perayaan pesta pernikahan di kalangan masyarakat Bugis yang masih kental dengan adat istiadatnya.  Pada prosesi Mappacci terkadang penggunaan simbol memiliki sarat makna yang  butuh pemahaman mendalam guna memahaminya, Mappacci yang dimaksudkan  membersihkan segala sesuatu dan mensucikan diri dari hal yang tidak baik, yang melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi hari esok, khususnya memasuki bahtera rumah tangga (Putri, 2016)
Mappacci adalah kata kerja dari ‘Mappaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, Mappacci dikenal dengan sebutan Mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, Mappacci /Mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur.
Perkembangan selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkaian kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara Mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi Mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin, dll. Tujuan dari Mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.

Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan Mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar) sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang di kalangan generasi tua, prosesi Mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar. Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.

Sekalipun Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil Mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi Mappacci beserta alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini. Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi Mappacci. Di depan calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya, sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta.

Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera ganjil, dengan Hadist Nabi Saw yang berbunyi: Allah itu ganjil dan suka yang ganjil. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap pakai.
Dengan sikap istiqomah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.

Terkadang, di atas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa manfaat bagi orang banyak.


Diatas daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

No comments: