Tentang adat Silariang di Suku Bugis dan Makassar
Silariang atau kawin lari tidak hanya dikenal oleh suku atau ada Makassar.
Suku lainnya pun di Indonesia pun mengenalnya. Hanya saja yang membedakan
adalah sanksi adat yang diterapkan pada kedua pelaku Silariang. Kalau
pada suku lainnya, biasanya sanksi tidak begitu berat, tetapi pada suku
Makassar, biasanya berakhir dengan pembunuhan terhadap pelaku.
Kawin Silariang
ini biasanya terjadi karena salah satu pihak keluarga tak menyetujui hubungan
asmara dari kedua pasangan ini. Mungkin karena perbedaan strata sosial, atau
karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil di luar nikah, sehingga mereka
mengambil jalan pintas, yakni melalukan Silariang.
Walaupun kedua
pasangan Silariang ini menyadari, bahwa tindakan Silariang ini
penuh resiko, tetapi inilah jalan yang terbaik baginya untuk membina rumah
tangga dengan kekasihnya kelak.
Menurut Tika, Silariang
adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah pemuda/laki-laki dengan gadis/
perempuan lari bersama-sama atas kehendak sendiri. Silariang adalah perkawinan yang dilakukan
antara sepasang laki-laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama, dimana
perkawinan menimbulkan siri’ bagi keluarga khususnya bagi keluarga perempuan,
dan kepadanya dikenakan sanksi adat.
Mappaci (Malam Pacaran bagi Suku Bugis dan Makassar) |
Tentang adat Mappacci di Suku Bugis dan Makassar
Upacara adat Mappacci
merupakan sebuah rangkaian perayaan pesta pernikahan di kalangan masyarakat
Bugis yang masih kental dengan adat istiadatnya. Pada prosesi Mappacci terkadang penggunaan
simbol memiliki sarat makna yang butuh
pemahaman mendalam guna memahaminya, Mappacci yang dimaksudkan membersihkan segala sesuatu dan mensucikan
diri dari hal yang tidak baik, yang melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi
hari esok, khususnya memasuki bahtera rumah tangga (Putri, 2016)
Mappacci adalah kata kerja dari ‘Mappaccing’ yang berarti bersih.
Terkadang, di beberapa daerah Bugis, Mappacci dikenal dengan sebutan Mappepaccing.
Dalam bahasa Bugis, Mappacci /Mappepaccing merupakan suatu
kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing
bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur.
Perkembangan
selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu
rangkaian kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappaccing
lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan
oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan.
Biasanya, acara Mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk
meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi Mappaccing,
terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi,
seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang
berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera,
lilin, dll. Tujuan dari Mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga
calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Tidak diketahui
dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan Mappacci ditetapkan sebagai
kewajiban adat (suku Bugis/Makassar) sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut
kabar yang berkembang di kalangan generasi tua, prosesi Mappacci telah
mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum
kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-Makassar. Oleh karena itu,
kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit
terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar. Mappacci menjadi
salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan
masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami
sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama
mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama
yang biasa digelar Anregurutta.
Sekalipun Mappacci
bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di
daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge
(kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk
mencari legalitas atau dalil Mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat budaya
ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud
Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi Mappacci beserta
alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini. Sebelum prosesi Mappacci,
biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas
Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun
ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi Mappacci. Di depan
calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan
dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala,
yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol
ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya,
sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta.
Di atas bantal,
biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun dengan bilangan
ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera ganjil, dengan Hadist
Nabi Saw yang berbunyi: Allah itu ganjil dan suka yang ganjil. Sarung sendiri
ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri,
telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus
menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung
yang siap pakai.
Dengan sikap
istiqomah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil
pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam
kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup
aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai
perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa
malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.
Terkadang, di atas
sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai
jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya.
Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul
tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu;
melahirkan atau mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu
pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan
perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa manfaat bagi orang
banyak.
Diatas daun
pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki
nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah
berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna
atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing).
Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita
pegang, yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah
tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang
meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting,
bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
No comments: