Political System Of Indonesia In Reform Era - Ukhy Knowledge

Sunday, 22 February 2015

Political System Of Indonesia In Reform Era

Presented By: Akbar Rahmadi, Andi Andreansyah, Abdul Jabbar, Rizal Adlan Mustafa, dan Etsa Buyung Trisaputra


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Runtuhnya Rezim Soeharto pada tahun 1998 merupakan tonggak sejarah dari berdirinya Era Reformasi serta penerapannya secara keseluruhan dengan labil dan seimbang. Masa peralihan dari zaman Orde Baru ke zaman Reformasi merupakan tolak ukur bangsa Indonesia dalam menegakkan kembali sistem demokrasi secara utuh. Orde baru yang kala itu dipimpim oleh rezim Soeharto, mengklaim bahwa pada saat itu pemerintahan lebih berpihak kepada militer serta dianggap sebagai stabilisator dan dinamisator seluruh lini masyarakat. Oleh karena itu, militer sebagai pembentuk suasana, semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diimplementasikan dengan baik. Maka, yang dilaksanakan dalam pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pendekatan keamanan (security approach) daripada mengedepankan kesejahteraan (prosperity approach). Dari sinilah banyak kalangan masyarakat banyak yang berpendapat, bahwa rezim Soeharto lebih mengedepankan militer dan cenderung menjadi pemerintahan yang otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun pada waktu itu pemerintahan Orde Baru mengembangkan  demokrasi denga mengatasnamakan Demokrasi Pancasila.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Sistem Pemerintahan?
2.      Apa itu Sistem Politik?
3.      Apa itu Era Reformasi?
C.    Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan sistem Pemerintahan.
2.      Untuk mendeskripsikan sistem Politik.
3.      Untuk menjelaskan secara ringkas mengenai era Reformasi.
4.      Untuk menjelaskan sistem Badan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif era Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sistem Pemerintahan
            Berbicara mengenai sistem pemerintahan, berarti ada dua kata yang tergabung dalam satu kalimat secara bersamaan, yaitu kata “sistem” dan kata “pemerintahan”. Sistem  dapat kita katakan bahwa sistem merupakan seperangkat unsur dan elemen yang tersusun secara teratur dan berhubungan satu sama lain. Layaknya sebuah sistem komputer yang mempunyai unsur dan elemen yang saling berhubungan dalam CPU-nya, sehingga dapat membuat komputer tersebut hidup dan menyala serta dapat digunakan. Menurut Dr. H. Inu Kencana Syafi’ie, M.Si dalam bukunya “ Ilmu Pemerintahan”, sistem adalah….“suatu rangkaian yang terkait satu sama lain, anak rangkaian merupakan subsistem dari rangkaian lebih besar. Rangkaian tersebut merupakan suatu keutuhan dan yang apabila salah satu terganggu akan berpengaruh pada bagian yang lain”.
            Sedangkan kata “Pemerintahan” banyak ilmuwan yang telah mendefinisikannya secara rinci dan dapat diketahui maknanya secara teoritis. Dalam susunan kata, pemerintahan dapat diartikan sebagai berikut:
1.      Perintah berarti melakukan pekerjaan menyuruh. Terdiri dari dua unsur, rakyat dan pemerintah, yang keduanya ada hubungan yang sangat erat dalam suatu Negara.  
2.      Setelah ditambah awalan “pe-“ menjadi pemerintah yang berarti badan atau organisasi yang mengurus atau memerintah.
3.      Setelah ditambah akhiran “an-“ menjadi pemerintahan, yang berarti perbuatan, cara atau perihal.
            Di beberapa negara antara pemerintah dan pemerintahan tidak dibedakan. Artinya dikotomi dalam hal ini ditiadakan mengingat dua hal ini dalam arti kata sangat dekat dan beda pada akhirannya saja. Di Inggris, mereka menyebutnya “Government”. Di Prancis menyebutnya “Gouvernment” keduanya berasal dari perkataan Latin “Gubernacalum” yang biasa kita sebut dengan “Gubernur”. Dalam bahasa arab disebut dengan “Al-Hukuumaat” dan di Amerika Serikat disebut dengan “Administration”.
Berikut ini beberapa definisi para pakar tentang pemerintahan:
1.      Menurut Woodrow Wilson (1924).
“Maksudnya, pemerintah dalam akhir uraiannya, adalah suatu pengorganisasian kekuatan, tidak selalu berhubungan dengan organisasi kekuatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari sekian banyak kelompok yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksud-maksud bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan keterangan bagi urusan-urusan umum kelompok kemasyarakatan”.
2.      Menurut W.S. Sayre (1960).
“Pemerintah dalam misi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari Negara yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.”
3.      Menurut David Apter (1997).
Maksudnya, pemerintahan itu adalah merupakan satuan anggota yang paling umum yang memiliki (a) tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya itu adalah bagian, dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan.
4.      Menurut Prajudi Atmosudirdjo (1984)
Tugas pemerintahan antara lain adalah tata usaha negara, rumah tangga Negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup.
Dari sini kita dapat mengambil pengertian sistem pemerintahan secara garis besar, yaitu kumpulan komponen-komponen atau unsur yang bersatu menjadi satu kesatuan dan  mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lain, dalam menjalankan seluruh tugas-tugas negara dan komponen-komponen kelembagaan negara demi terciptanya sebuah masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
B.     Pengertian Sistem Politik     
            Secara historis, politik berasal dari kata “polis” yang dimana kata ini digunakan dalam sistem pemerintahan di Yunani sekitar abad ke-5 SM. Salah satu filsuf Yunani yang sangat berpengaruh dalam perkembangan politik waktu itu yaitu Aristoteles dan Plato. Filsuf Plato dan Aristoteles ini beranggapan bahwa kata “politics” sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu maka manusia akan hidup bersama dan bahagia karena memilki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai sekitar abad ke-19.
            Namun secara teori, sisitem politik adalah kumpulan usaha yang berkaitan untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih harmonis. Usaha untuk menggapai good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu.
C.    Politik dan Pemerintahan Indonesia era Reformasi
1.      Sejarah Singkat mengenai Era Reformasi
            Apa itu era reformasi? Apa Sebab terjadinya? Berikut penjelasan secara ringkas mengenai era dan sistem reformasi.
Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto yang kuat dan haus akan kekuasaan tiba-tiba secara resmi menyatakan berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi Asia. Soeharto sebagai mandataris MPR, meletakkan jabatannya tanpa melalui pertanggungjawaban kepada MPR. Mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan pada tahun tersebut diawali dengan serentetan berbagai macam kasus dan juga kerusuhan sosial yang diselenggarakan mahasiswa secara besar-besaran dari beberapa kota di penjuru Indonesia hingga memuncak dan mereka para demonstran (para mahasiswa) mampu menduduki gedung MPR/DPR. Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh Habibie dan mengambil alih pemerintahan dan disumpah menjadi Presiden di Istana Negara di hadapan Mahkamah Agung, dengan dihadiri oleh pimpinan MPR. Hal ini dikarenakan gedung MPR dan DPR dikuasai oleh mahasiswa yang berunjuk rasa dengan besar-besaran saat itu.  
            B.J Habibie ditolak pertanggung jawabannya oleh pada 19 Oktober 1999 melalui ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1999 yang telah memperjelas bahwa B.J Habibie dinyatakan telah menjadi Presiden sejak mengucapkan sumpah jabatan pada 21 Mei 1998. Dari ketetapan inilah menimbulkan pro-kontra dari beberapa kalangan mengenai suksesi Habibie ini dalam jabatannya sebagai Presiden sehingga membuat beliau menjabat sebagai presiden dalam hanya kurun waktu 17 bulan (21 Mei 1998-19 Oktober 1999).
            Pada tanggal 20 Oktober 1999 B.J Habibie kemudian digantikan oleh K.H Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden terpilih melalui Sidang Umum DPR hasil Pemilu 1999. Presiden yang dijuluki “Gus Dur” ini dipilih melaui proses pemungutan suara (voting). Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilih.
            Pada masa Abdurrahman Wahid konflik terjadi dengan sangat tajam antara MPR, DPR dan Kapolri. Konflik dengan DPR, tampak ketika Abdurrahman Wahid menolak panggilan Pansus Bulog yang melaksanakan hak angket atas kasus Bulog. Konflik dengan MPR diawali ketika MPR menganggap Abdurrahman Wahid melakukan pelanggaran dengan menetapkan pejabat Kapolri dengan mempercepat Sidang Istimewa MPR. Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam Sidang Istimewa karena menurutnya sangat melanggar tata tertib. Dua hari kemudian Presiden mengeluarkan Dekrit Maklumat Presiden antara lain pembekuan MPR. MPR menolak dekrit tersebut dan mencabut Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang pengangkatan Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
            Dari ketetapan MPR tersebut, maka Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya dan hanya menjabat selama 20 bulan. Kemudian tanpa melalui pemungutan suara, sang wakil Presiden Megawati Soekarnopoetri ditetapkan dan dilantik sebagai Presiden ketiga sejak masa transisi serta merupakan presiden kelima, sejak Indonesia merdeka. Presiden wanita pertama Indonesia ini dilantik menjadi presiden pada tanggal 23 Juli 2001.    
            Kemudian keesokan harinya, Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden melalui pemungutan suara. Pada Pemilu 2004, pemilihan paket Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi oleh MPR, akan tetapi langsung dari suara dan masukan dari rakyat. Hal ini merupakan perubahan yanag akan memperkuat posisi jabatan presiden. Karena presiden akan bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan kepada MPR. Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Susduk (MPR, DPR dan DPD), tampak DPR posisinya semakin menguat.
B.     Sistem Pemerintahan di Indonesia era Reformasi
            Kebanyakan para pakar berpendapat bahwa matinya sistem pemerintahan yang demokratis di Indonesia ditandai sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Dengan kata lain, Demokrasi Terpimpin pada Era Soekarno dan Demokrasi Pancasila pada era Soeharto sesungguhnya tidak ada demokrasi. Demokrasi baru mulai hidup kembali sejak era Reformasi setelah lengsernya Soeharto pada 1998, akibat demokrasi yang sebagian besar diprakarsai oleh mahasiswa. Sehinga sejak saat itulah, bangsa Indonesia bangkit kembali dan belajar demokrasi seutuhnya setelah larut kurang lebih 40 tahun.  
Soeharto yang lengser pada tahun 1998 tidak lain karena gaya kepemimpinannya yang otoriter. Ada tiga kekuatan yang mendukung runtuhnya rezim Soeharto saat itu, yaitu:
(1) terkonsolidasi kekuatan massa yang besar yang di dalamnya dipelopori oleh mahasiswa, LSM, Ormas dan sebagainya. Pemberontakan ini tidak hanya terjadi kota sebagai pusat urban, melainkan masyarakat yang berada di daerah otonom yang merasa terpinggirkan kepentingan politik mereka akibat pengelolaan kekayaan negara yang berpusat pada tangan Soeharto sebagai akibat dari sentralisme kekuatan.
(2) konflik internal politik yang kemudian menggoyahkan posisi Soeharto. Elit-elit politik yang sebagian besar tidak sepakat dengan Soeharto mendukung aksi-aksi politik mahsiswa yang tumpah ruah di jalanan. Akibatnya, banyak menteri yang mengundurkan diri dari jabatan kementeriannya pada saat itu dan dengan seketika kekuasaan Soeharto mulai goyah dengan sangat hebat.
(3) tekanan dunia Internasional yang menginginkan Indonesia untuk menegakkan Demokrasi. Kediktatoran Soeharto yang dikutuk oleh para Indonesianis, melahirkan antipati yang menyeluruh dari sistem kekuasaaan yang diktator tersebut. Bank Dunia menganggap bahwa Indonesia adalah negara pembayar utang paling “setia” dari sekian banyak negara debitor yang meminjam uang. Oleh karena utang menumpuk kepada Bank Dunia, legitimasi rakyat berkurang dan berujung kepada konflik.    
Berikut secara singkat mengenai pemerintahan yang ada di zaman zaman Reformasi;
1.      Pemerintahan Habibie
            Presiden Habibie setelah dilantik dengan segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi. Salah satu hal yang dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi, seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah pengahapusan Dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat sangat terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
            Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. dan Seharusnya Pemerintah melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan menggunakannya dengan benar.
2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid
            Setelah masa Pemerintahan dari B.J. Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman Wahid-Megawati yang secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.

3. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian. Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar TAP No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Melalui Sidang Istimewa MPR yang seperti di sebutkan diatas tadi, pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang dingin. Sejak kenaikan Megawati sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari dalam negeri maupun negara kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya. Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.

4. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
            Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
C.    Badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
            Badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif  juga termasuk dari pembagian tiga konsep kekuasaan yang ada di Indonesia. Badan Eksekutif termasuk salah satu kekuasaan yang dijalankan oleh presiden serta wakil presiden, sebagai bagian dari badan eksekutif yang tidak dapat diganggu gugat. Pada masa-masa setelah proklamasi, Soekarno menerapkan sistem Demokrasi terpimpin. Kala itu, MPRS menetapkan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akan tetapi, pada era Soeharto, penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dibatalkan. Dengan ketetapan MPRS No. XXXXIV Tahun 1968, Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS sebagai presiden dan pada 1973 telah dipilih Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden.
Sampai sekarang saat ini, badan eksekutif tetap dijalankan oleh Presiden dan juga wakil presiden dalam jangka waktu kepemimpinan selama 5 tahun. Badan Eksekutif sebagai penyelanggara undang-undang yang telah dibuat oleh badan Legislatif wajib dilaksanakan oleh Presiden dan Wakilnya, serta para jajaran menterinya.
            Badan Legislatif juga termasuk salah satu bagian terpenting dalam sistem pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia. Badan ini berfungsi sebagai pembuat undang-undang. Badan ini di negara-negara barat kadang disebut dengan Legislature  atau  Assembly serta Parliament. Sebutan lain juga mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan People Represantative Body, di Indonesia disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta Majelis Perwusyawaratan Rakyat. Fungsi legislatif antara lain menntukan kebijakan dan membuat undang-undang.
Untuk itu, legislatif diberi wewenang untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Selain itu juga berfungsi sebagai pengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, badan Yudikatif. Badan Yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Kehakiman seperti MK dan MA. Asas kebebasan badan yudikatif (independent judiciary) juga terdapat dan dijelaskan dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945 mengeani kekuasaan kehakiman yang menyatakan; “Kekuatan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.
Ketika era Reformasi sampai sekarang, banyak perubahan yang terjadi di Indonesia mengenai lembaga kehakiman ini. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai Bab Kekuasaan kehakiman (BAB 10) memuat beberapa perubahan (pasal 24A, 24B, dan pasal 24C). Dalam amandemen tersebut disebutkan bahwa Indonesia mempunyai penyelenggara kekuasaan kehakiman yan tertinggi yang terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bertugas sebagai penguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UUD. Sedangkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945. 
Selain itu, ada beberapa lembaga negara yang berdiri dan juga mempunyai hak untuk menjalankan kekuasasan kehakiman di Indonesia. Lembaga-lembaga baru tersebut berdiri setelah tumbangnya rezim Soeharto yang disebabkan pelanggaran hukum yang marak terjadi di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang awal pembentukannya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 50 Tahun 1993. Ada juga Komisi Hukum Nasional yang berdiri tahun 2000, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang berdiri tahun 2002. Kemudian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang lebih dikenal dengan Komnas Perempuan. Ada lagi Komisi Ombodsman Nasional atau disingkat KON, dibentuk tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. Fungsi dari Komisi Ombudsman ini untuk mencegah terjadinya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan melalui peranan masyarakat.
D.    Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi
Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu :
a)      UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
b)      UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.
Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi.
Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
            Kebijakan ini sendiri keluar untuk mengatasi masalah integrasi yang melanda Indonesia. Dengan kebijakan ini pemerintah berhasil mendapat apresiasi rakyat yang ingin memjukan daerahnya sendiri-sendiri tanpa harus terkekang oleh pusat. Namun dalam pelaksanaannya otonomi daerah ini masih belum berjalan dengan lancar, hal ini dikarenakan pemerintah memberikan kebijakan ini dengan sepenuh hati. Kelemahan lainnya dalam kebijakan ini adalah adanya DPRD disetiap daerah yang lebih dominan.
            Sedangkan keuntungan dari kebijakan ini adalah meratanya pembangunan nasional di setiap daerah. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah ini juga membuat semua daerah di Indonesia tidak ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena Indonesia dianggap sebagai suatu organisasi yang menaungi daerah-daerah tersebut di bawah kekuasaannya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Demikianlah, sekilas sistem politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Indonesia yang kini telah bangkit dari masa lalunya yang kelam membuat jati diri bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi mulai untuk menerapkannya secara total dan keseluruhan. Oleh karenanya, kita sebagai masyarakat, sudah seharusnya dapat membuat legitimisi kita kepada pemerintah lahir kembali demi terciptanya kehidupan politis lagi harmonis dan lebih baik daripada sebelumnya. Sejarah perpolitikan Indonesia yang ada dari zaman Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, otoritarianisme-nya Soeharto, membuat negara ini sadar bahwa identitas negara yang demokrasi dan patut menjalankan seluruh tindakan kenegaraan berdasarkan kehendak rakyat, serta tidak cocok dengan sistem yang diperintah oleh Individu atau Otoriter.
            Selain itu, masyarakat Indonesia yang mejemuk harus bersatu padu dalam menerapkan sistem demokrasi yang bersasaskan atas kehendak rakyat. Selain itu, di masa reformasi ini, rasa nasionalisme yang kurang akan dapat menimbulkan rasa negatif juga kurang percaya diri bagi masyarakat, oleh karenanya, pendidikan-pendidikan mengenai sejarah-sejarah kemerdekaan dan pola-pola politik yang harus selalu digencarkan di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan manapun. Meningkatnya wawasan bagi para anggota didik dan juga bagi para pelajar akan sejarah berdirinya negara Indonesia ini dapat menciptakan generasi yang tidak akan lupa dari sejarah negara sendiri, melahirkan rasa nasionalisme yang kuat apalagi buat mereka yang bercita-cita tinggi menjadi diplomat atau duta besar, karena sebelum mempelajari sejarah dan kebudayaan asing, harus mengetahui dan paham benar sejarah dan kbudayaan di negara sendiri.   

DAFTAR PUSTAKA

·         Budiarjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit Gramedia.
·         Dr. Sunarso, 2013, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
·         Syafiie, Inu Kencana, 2011, Etika Pemerintahan, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
·         http:/sistem-politik-indonesia-era-reformasi.html, terakhir di unggah 17 Februari 2015.

·         http://sistempolitikerareformasi.blogspot.com/2012/11/sistem-politik-era-reformasi.htm, terakhir diunngah 17 februari 2015. 

No comments: