Presented By: Akbar Rahmadi, Andi Andreansyah, Abdul Jabbar, Rizal Adlan Mustafa, dan Etsa Buyung Trisaputra
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Runtuhnya Rezim
Soeharto pada tahun 1998 merupakan tonggak sejarah dari berdirinya Era Reformasi
serta penerapannya secara keseluruhan dengan labil dan seimbang. Masa peralihan
dari zaman Orde Baru ke zaman Reformasi merupakan tolak ukur bangsa Indonesia
dalam menegakkan kembali sistem demokrasi secara utuh. Orde baru yang kala itu
dipimpim oleh rezim Soeharto, mengklaim bahwa pada saat itu pemerintahan lebih
berpihak kepada militer serta dianggap sebagai stabilisator dan dinamisator
seluruh lini masyarakat. Oleh karena itu, militer sebagai pembentuk suasana,
semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diimplementasikan dengan
baik. Maka, yang dilaksanakan dalam pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan
pendekatan keamanan (security approach) daripada mengedepankan
kesejahteraan (prosperity approach). Dari sinilah banyak kalangan
masyarakat banyak yang berpendapat, bahwa rezim Soeharto lebih mengedepankan
militer dan cenderung menjadi pemerintahan yang otoriter, bukan sistem politik
demokrasi. Meskipun pada waktu itu pemerintahan Orde Baru mengembangkan demokrasi denga mengatasnamakan Demokrasi
Pancasila.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu Sistem Pemerintahan?
2.
Apa itu Sistem Politik?
3.
Apa itu Era Reformasi?
C.
Tujuan
1.
Untuk mendeskripsikan sistem Pemerintahan.
2.
Untuk mendeskripsikan sistem Politik.
3.
Untuk menjelaskan secara ringkas mengenai era
Reformasi.
4.
Untuk menjelaskan sistem Badan Legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif era Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sistem Pemerintahan
Berbicara mengenai sistem pemerintahan, berarti ada
dua kata yang tergabung dalam satu kalimat secara bersamaan, yaitu kata
“sistem” dan kata “pemerintahan”. Sistem dapat kita katakan bahwa sistem merupakan
seperangkat unsur dan elemen yang tersusun secara teratur dan berhubungan satu
sama lain. Layaknya sebuah sistem komputer yang mempunyai unsur dan elemen yang
saling berhubungan dalam CPU-nya, sehingga dapat membuat komputer tersebut
hidup dan menyala serta dapat digunakan. Menurut Dr. H. Inu Kencana Syafi’ie,
M.Si dalam bukunya “ Ilmu Pemerintahan”, sistem adalah….“suatu rangkaian
yang terkait satu sama lain, anak rangkaian merupakan subsistem dari rangkaian
lebih besar. Rangkaian tersebut merupakan suatu keutuhan dan yang apabila salah
satu terganggu akan berpengaruh pada bagian yang lain”.
Sedangkan kata “Pemerintahan” banyak ilmuwan yang
telah mendefinisikannya secara rinci dan dapat diketahui maknanya secara
teoritis. Dalam susunan kata, pemerintahan dapat diartikan sebagai berikut:
1.
Perintah
berarti melakukan pekerjaan menyuruh. Terdiri dari dua unsur, rakyat dan
pemerintah, yang keduanya ada hubungan yang sangat erat dalam suatu Negara.
2. Setelah ditambah awalan “pe-“ menjadi pemerintah yang
berarti badan atau organisasi yang mengurus atau memerintah.
3. Setelah ditambah akhiran “an-“ menjadi pemerintahan,
yang berarti perbuatan, cara atau perihal.
Di
beberapa negara antara pemerintah dan pemerintahan tidak dibedakan. Artinya
dikotomi dalam hal ini ditiadakan mengingat dua hal ini dalam arti kata sangat
dekat dan beda pada akhirannya saja. Di Inggris, mereka menyebutnya “Government”.
Di Prancis menyebutnya “Gouvernment” keduanya berasal dari perkataan
Latin “Gubernacalum” yang biasa kita sebut dengan “Gubernur”.
Dalam bahasa arab disebut dengan “Al-Hukuumaat” dan di Amerika Serikat
disebut dengan “Administration”.
Berikut ini beberapa
definisi para pakar tentang pemerintahan:
1.
Menurut
Woodrow Wilson (1924).
“Maksudnya, pemerintah
dalam akhir uraiannya, adalah suatu pengorganisasian kekuatan, tidak selalu
berhubungan dengan organisasi kekuatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok
orang dari sekian banyak kelompok yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk
mewujudkan maksud-maksud bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan
keterangan bagi urusan-urusan umum kelompok kemasyarakatan”.
2.
Menurut
W.S. Sayre (1960).
“Pemerintah
dalam misi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari Negara yang memperlihatkan
dan menjalankan kekuasaannya.”
3.
Menurut
David Apter (1997).
Maksudnya,
pemerintahan itu adalah merupakan satuan anggota yang paling umum yang memiliki
(a) tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya itu
adalah bagian, dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan.
4.
Menurut
Prajudi Atmosudirdjo (1984)
Tugas pemerintahan antara lain adalah tata usaha
negara, rumah tangga Negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian
lingkungan hidup.
Dari sini kita
dapat mengambil pengertian sistem pemerintahan secara garis besar, yaitu
kumpulan komponen-komponen atau unsur yang bersatu menjadi satu kesatuan dan mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama
lain, dalam menjalankan seluruh tugas-tugas negara dan komponen-komponen
kelembagaan negara demi terciptanya sebuah masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera.
B. Pengertian
Sistem Politik
Secara
historis, politik berasal dari kata “polis” yang dimana kata ini
digunakan dalam sistem pemerintahan di Yunani sekitar abad ke-5 SM. Salah satu
filsuf Yunani yang sangat berpengaruh dalam perkembangan politik waktu itu
yaitu Aristoteles dan Plato. Filsuf Plato dan Aristoteles ini beranggapan bahwa
kata “politics” sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity)
yang terbaik. Di dalam polity semacam itu maka manusia akan
hidup bersama dan bahagia karena memilki peluang untuk mengembangkan bakat,
bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana
moralitas yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai sekitar abad ke-19.
Namun
secara teori, sisitem politik adalah kumpulan usaha yang berkaitan untuk
menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih harmonis. Usaha untuk menggapai
good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain
menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan
tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan
dari sistem politik dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif
serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu.
C.
Politik
dan Pemerintahan Indonesia era Reformasi
1. Sejarah Singkat mengenai Era Reformasi
Apa
itu era reformasi? Apa Sebab terjadinya? Berikut penjelasan secara ringkas
mengenai era dan sistem reformasi.
Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto yang kuat
dan haus akan kekuasaan tiba-tiba secara resmi menyatakan berhenti sebagai
Presiden RI pada 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi Asia. Soeharto sebagai
mandataris MPR, meletakkan jabatannya tanpa melalui pertanggungjawaban kepada
MPR. Mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan pada tahun tersebut
diawali dengan serentetan berbagai macam kasus dan juga kerusuhan sosial yang diselenggarakan
mahasiswa secara besar-besaran dari beberapa kota di penjuru Indonesia hingga
memuncak dan mereka para demonstran (para mahasiswa) mampu menduduki gedung
MPR/DPR. Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh Habibie dan mengambil alih
pemerintahan dan disumpah menjadi Presiden di Istana Negara di hadapan Mahkamah
Agung, dengan dihadiri oleh pimpinan MPR. Hal ini dikarenakan gedung MPR dan
DPR dikuasai oleh mahasiswa yang berunjuk rasa dengan besar-besaran saat itu.
B.J
Habibie ditolak pertanggung jawabannya oleh pada 19 Oktober 1999 melalui
ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1999 yang telah memperjelas bahwa B.J Habibie
dinyatakan telah menjadi Presiden sejak mengucapkan sumpah jabatan pada 21 Mei
1998. Dari ketetapan inilah menimbulkan pro-kontra dari beberapa kalangan
mengenai suksesi Habibie ini dalam jabatannya sebagai Presiden sehingga membuat
beliau menjabat sebagai presiden dalam hanya kurun waktu 17 bulan (21 Mei
1998-19 Oktober 1999).
Pada
tanggal 20 Oktober 1999 B.J Habibie kemudian digantikan oleh K.H Abdurrahman
Wahid, sebagai Presiden terpilih melalui Sidang Umum DPR hasil Pemilu 1999.
Presiden yang dijuluki “Gus Dur” ini dipilih melaui proses pemungutan
suara (voting). Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan
hak pilih.
Pada
masa Abdurrahman Wahid konflik terjadi dengan sangat tajam antara MPR, DPR dan
Kapolri. Konflik dengan DPR, tampak ketika Abdurrahman Wahid menolak panggilan
Pansus Bulog yang melaksanakan hak angket atas kasus Bulog. Konflik dengan MPR
diawali ketika MPR menganggap Abdurrahman Wahid melakukan pelanggaran dengan
menetapkan pejabat Kapolri dengan mempercepat Sidang Istimewa MPR. Abdurrahman
Wahid menolak hadir dalam Sidang Istimewa karena menurutnya sangat melanggar
tata tertib. Dua hari kemudian Presiden mengeluarkan Dekrit Maklumat Presiden
antara lain pembekuan MPR. MPR menolak dekrit tersebut dan mencabut Ketetapan
MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang pengangkatan Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
Dari
ketetapan MPR tersebut, maka Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya
dan hanya menjabat selama 20 bulan. Kemudian tanpa melalui pemungutan suara,
sang wakil Presiden Megawati Soekarnopoetri ditetapkan dan dilantik sebagai
Presiden ketiga sejak masa transisi serta merupakan presiden kelima, sejak
Indonesia merdeka. Presiden wanita pertama Indonesia ini dilantik menjadi
presiden pada tanggal 23 Juli 2001.
Kemudian
keesokan harinya, Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden melalui pemungutan
suara. Pada Pemilu 2004, pemilihan paket Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi
oleh MPR, akan tetapi langsung dari suara dan masukan dari rakyat. Hal ini
merupakan perubahan yanag akan memperkuat posisi jabatan presiden. Karena presiden
akan bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan kepada MPR. Amandemen UUD 1945
dan Undang-undang Susduk (MPR, DPR dan DPD), tampak DPR posisinya semakin
menguat.
B.
Sistem
Pemerintahan di Indonesia era Reformasi
Kebanyakan
para pakar berpendapat bahwa matinya sistem pemerintahan yang demokratis di
Indonesia ditandai sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden
Soeharto, 21 Mei 1998. Dengan kata lain, Demokrasi Terpimpin pada Era Soekarno
dan Demokrasi Pancasila pada era Soeharto sesungguhnya tidak ada demokrasi.
Demokrasi baru mulai hidup kembali sejak era Reformasi setelah lengsernya
Soeharto pada 1998, akibat demokrasi yang sebagian besar diprakarsai oleh
mahasiswa. Sehinga sejak saat itulah, bangsa Indonesia bangkit kembali dan
belajar demokrasi seutuhnya setelah larut kurang lebih 40 tahun.
Soeharto yang
lengser pada tahun 1998 tidak lain karena gaya kepemimpinannya yang otoriter.
Ada tiga kekuatan yang mendukung runtuhnya rezim Soeharto saat itu, yaitu:
(1)
terkonsolidasi kekuatan massa yang besar yang di dalamnya dipelopori oleh
mahasiswa, LSM, Ormas dan sebagainya. Pemberontakan ini tidak hanya terjadi
kota sebagai pusat urban, melainkan masyarakat yang berada di daerah otonom
yang merasa terpinggirkan kepentingan politik mereka akibat pengelolaan
kekayaan negara yang berpusat pada tangan Soeharto sebagai akibat dari
sentralisme kekuatan.
(2) konflik
internal politik yang kemudian menggoyahkan posisi Soeharto. Elit-elit politik
yang sebagian besar tidak sepakat dengan Soeharto mendukung aksi-aksi politik
mahsiswa yang tumpah ruah di jalanan. Akibatnya, banyak menteri yang
mengundurkan diri dari jabatan kementeriannya pada saat itu dan dengan seketika
kekuasaan Soeharto mulai goyah dengan sangat hebat.
(3) tekanan
dunia Internasional yang menginginkan Indonesia untuk menegakkan Demokrasi.
Kediktatoran Soeharto yang dikutuk oleh para Indonesianis, melahirkan
antipati yang menyeluruh dari sistem kekuasaaan yang diktator tersebut. Bank
Dunia menganggap bahwa Indonesia adalah negara pembayar utang paling “setia”
dari sekian banyak negara debitor yang meminjam uang. Oleh karena utang
menumpuk kepada Bank Dunia, legitimasi rakyat berkurang dan berujung kepada
konflik.
Berikut secara
singkat mengenai pemerintahan yang ada di zaman zaman Reformasi;
1. Pemerintahan
Habibie
Presiden Habibie setelah dilantik dengan segera membentuk
sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan
dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program
pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi. Salah satu hal yang dilakukan oleh
Habiebie saat itu adalah mempersiapkan
pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi, seperti :
mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan
hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah pengahapusan Dwifungsi ABRI sehingga fungsi
sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat
sangat terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini
membuat masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya
berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya
sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste
seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini
hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada
masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah
hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa
ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya
mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J
Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan
kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. dan Seharusnya Pemerintah melakukan terlebih dahulu
Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat itu guna
menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan menggunakannya
dengan benar.
2. Pemerintahan
Abdurrahman Wahid
Setelah masa Pemerintahan dari B.J. Habibie
maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman Wahid-Megawati yang secara legalitas formal telah lahir
periode baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah
dinyatakan berakhir dan digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi
seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh
harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni
1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar
menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang
pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan
Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk
kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan
melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid
meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang
menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama
di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat
Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan
para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik
yang meluap-luap.
3. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000,
Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001,
ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri
dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR
untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia
mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari
kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian. Puncak
jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR
mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar TAP No. VII/MPR/2000, karena
menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Melalui Sidang Istimewa MPR yang seperti di sebutkan diatas tadi, pada
23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar
rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata
masyarakat Indonesia, menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya
yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap
sebagai pemimpin yang “dingin”. Sejak kenaikan Megawati sebagai
presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa peledakan
bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari dalam negeri maupun negara kancah
internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia
menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya. Megawati menyatakan pemerintahannya
berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004
dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi
Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk
Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai
Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
4. Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar
di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru
Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai
cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain
pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di
wilayah Aceh.
C. Badan
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
Badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif juga termasuk dari pembagian tiga konsep kekuasaan
yang ada di Indonesia. Badan Eksekutif termasuk salah satu kekuasaan yang
dijalankan oleh presiden serta wakil presiden, sebagai bagian dari badan
eksekutif yang tidak dapat diganggu gugat. Pada masa-masa setelah proklamasi, Soekarno
menerapkan sistem Demokrasi terpimpin. Kala itu, MPRS menetapkan Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup. Akan tetapi, pada era Soeharto, penetapan
Soekarno sebagai presiden seumur hidup dibatalkan. Dengan ketetapan MPRS No.
XXXXIV Tahun 1968, Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS sebagai presiden dan
pada 1973 telah dipilih Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden.
Sampai sekarang
saat ini, badan eksekutif tetap dijalankan oleh Presiden dan juga wakil presiden
dalam jangka waktu kepemimpinan selama 5 tahun. Badan Eksekutif sebagai
penyelanggara undang-undang yang telah dibuat oleh badan Legislatif wajib
dilaksanakan oleh Presiden dan Wakilnya, serta para jajaran menterinya.
Badan
Legislatif juga termasuk salah satu bagian terpenting dalam sistem pemerintahan
dan perpolitikan di Indonesia. Badan ini berfungsi sebagai pembuat
undang-undang. Badan ini di negara-negara barat kadang disebut dengan Legislature
atau
Assembly serta Parliament. Sebutan lain juga
mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan People
Represantative Body, di Indonesia disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta Majelis Perwusyawaratan Rakyat. Fungsi
legislatif antara lain menntukan kebijakan dan membuat undang-undang.
Untuk itu,
legislatif diberi wewenang untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan
undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Selain itu juga berfungsi sebagai pengontrol
badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai
dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya,
badan Yudikatif. Badan Yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga
Kehakiman seperti MK dan MA. Asas kebebasan badan yudikatif
(independent judiciary) juga terdapat dan dijelaskan dalam pasal 24 dan 25 UUD
1945 mengeani kekuasaan kehakiman yang menyatakan; “Kekuatan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya lepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.
Ketika era
Reformasi sampai sekarang, banyak perubahan yang terjadi di Indonesia mengenai
lembaga kehakiman ini. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10
November 2001, mengenai Bab Kekuasaan kehakiman (BAB 10) memuat beberapa
perubahan (pasal 24A, 24B, dan pasal 24C). Dalam amandemen tersebut disebutkan
bahwa Indonesia mempunyai penyelenggara kekuasaan kehakiman yan tertinggi yang
terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bertugas
sebagai penguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UUD. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945.
Selain itu, ada
beberapa lembaga negara yang berdiri dan juga mempunyai hak untuk menjalankan
kekuasasan kehakiman di Indonesia. Lembaga-lembaga baru tersebut berdiri
setelah tumbangnya rezim Soeharto yang disebabkan pelanggaran hukum yang marak
terjadi di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang awal pembentukannya
berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 50 Tahun 1993. Ada juga Komisi Hukum Nasional yang berdiri
tahun 2000, kemudian Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK
yang berdiri tahun 2002. Kemudian Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,
yang lebih dikenal dengan Komnas
Perempuan. Ada lagi Komisi Ombodsman
Nasional atau disingkat KON,
dibentuk tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun
2000. Fungsi dari Komisi Ombudsman ini untuk mencegah terjadinya praktik
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan melalui peranan masyarakat.
D. Kebijakan
Otonomi Daerah Era Reformasi
Dalam era
reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah,
yaitu :
a) UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
b) UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya,
kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi
kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena
itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32
tahun 2004.
Dari semua
definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi,
yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif
politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi.
Dekosentrasi
adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam
suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata,
bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab
kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Kebijakan
ini sendiri keluar untuk mengatasi masalah integrasi yang melanda Indonesia.
Dengan kebijakan ini pemerintah berhasil mendapat apresiasi rakyat yang ingin
memjukan daerahnya sendiri-sendiri tanpa harus terkekang oleh pusat. Namun
dalam pelaksanaannya otonomi daerah ini masih belum berjalan dengan lancar, hal
ini dikarenakan pemerintah memberikan kebijakan ini dengan sepenuh hati. Kelemahan
lainnya dalam kebijakan ini adalah adanya DPRD disetiap daerah yang lebih
dominan.
Sedangkan
keuntungan dari kebijakan ini adalah meratanya pembangunan nasional di setiap
daerah. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah ini juga membuat semua daerah di
Indonesia tidak ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena Indonesia dianggap
sebagai suatu organisasi yang menaungi daerah-daerah tersebut di bawah
kekuasaannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demikianlah,
sekilas sistem politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Indonesia yang
kini telah bangkit dari masa lalunya yang kelam membuat jati diri bangsa
Indonesia sebagai negara demokrasi mulai untuk menerapkannya secara total dan
keseluruhan. Oleh karenanya, kita sebagai masyarakat, sudah seharusnya dapat
membuat legitimisi kita kepada pemerintah lahir kembali demi terciptanya
kehidupan politis lagi harmonis dan lebih baik daripada sebelumnya. Sejarah
perpolitikan Indonesia yang ada dari zaman Demokrasi Terpimpinnya Soekarno,
otoritarianisme-nya Soeharto, membuat negara ini sadar bahwa identitas negara
yang demokrasi dan patut menjalankan seluruh tindakan kenegaraan berdasarkan kehendak
rakyat, serta tidak cocok dengan sistem yang diperintah oleh Individu atau
Otoriter.
Selain
itu, masyarakat Indonesia yang mejemuk harus bersatu padu dalam menerapkan
sistem demokrasi yang bersasaskan atas kehendak rakyat. Selain itu, di masa
reformasi ini, rasa nasionalisme yang kurang akan dapat menimbulkan rasa
negatif juga kurang percaya diri bagi masyarakat, oleh karenanya,
pendidikan-pendidikan mengenai sejarah-sejarah kemerdekaan dan pola-pola
politik yang harus selalu digencarkan di sekolah-sekolah maupun lembaga
pendidikan manapun. Meningkatnya wawasan bagi para anggota didik dan juga bagi
para pelajar akan sejarah berdirinya negara Indonesia ini dapat menciptakan
generasi yang tidak akan lupa dari sejarah negara sendiri, melahirkan rasa
nasionalisme yang kuat apalagi buat mereka yang bercita-cita tinggi menjadi
diplomat atau duta besar, karena sebelum mempelajari sejarah dan kebudayaan
asing, harus mengetahui dan paham benar sejarah dan kbudayaan di negara
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Budiarjo,
Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Penerbit Gramedia.
·
Dr.
Sunarso, 2013, Perbandingan Sistem
Pemerintahan, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
·
Syafiie,
Inu Kencana, 2011, Etika Pemerintahan, Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
·
http:/sistem-politik-indonesia-era-reformasi.html, terakhir di unggah 17 Februari 2015.
·
http://sistempolitikerareformasi.blogspot.com/2012/11/sistem-politik-era-reformasi.htm,
terakhir diunngah 17 februari 2015.
No comments: