Pilkada
adalah salah satu bentuk desentralisasi demokrasi. Yang didalam terkandung
semangat dalam penyelaenggaraan pemerintahan daerah secara otonom. Semangat
dalam untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban tugas dalam menangani
urusan domestik (Lokal), dan juga agar pemerintah daerah untuk mempelajari
bagaimana menagani urusan daerah. Selain itu hal ini juga untuk pembagian
tugas, pemerintah pusat bisa lebih fokus pada masalah-masalah nasional,
sementara pemerintah daerah dituntut untuk menangani masalah-masalah daerah.
Kemudian sebagai nilai-nilai kepercayaan pemerintah pusat atas pemerintah
daerah.
Pilkada
adalah salah satu bentuk kecirikhasan negara demokrasi. Pilkada adalah pesta
rakyat, dimana pemerintahan dimulai dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Namun seperti yang diangkat dalam buku ini, pilkada adalah pesta partai
politik. Pemilihan kepala daerah bukanlah suat u bentuk pemilihan individual.
Melainkan pemilihan antar kelompok. Yang memiliki potensi yang sangat besar
untuk menimbulkan konflik. Pilkada memang menggambarkan bentuk negara sebagai
negara demokrasi, namun disisi lain pilkada memunculkan sejumlah ironi atau
kejadian yang tidak seharusnya terjadi atau kejadian yang tidak di harapkan.
Salah
satu penyebab konlik ini adalah seperti yang dituliskan dalam buku ini, bahwa
penyebabnya adalah belum bakunya infastruktur pemilihan pejabat publik yang
sering kontroversialantara partai dan aktor politik yang terkadang ditolak oleh
masyarakat sehingga menimbulkan konflik ketika proses pemilihan berlangsung.
Faktor yang memicu konflik dalam pengadaan pilkada adalah penggunaaan politik
uang (money politics). Dan dampak dari konflik ini seringkali menyebabkan massa
pendukung terlibat dalam ke anarkian.
Pemblokadean jalan-jalan cital, bentrok dengan aparat dan lain-lain.
Dalam
buku ini juga menjeleskan bagaimana pilkada dalam perspektif hukum yaitu ada
empat, yang pertama adalah perdebatan panjang tentang apakah pilkada itu ditempatkan dalam
konstruksi Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 atau Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945?. Yang kedua, pertanggungjawaban KPU(D) yang tidak jelas. Yang ketiga,
baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan
berbagai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri “menga caukan” struktur kelembagaan
KPUD dan berpotensi terjadi konflik hukum dan penyimpangan dalam Pilkada.
Keempat, secara kelembagaan konstruksi peraturan pilkada tidak kondusif untuk
mencegah terjadinya konflik, 37 yakni: (1) kewenangan KPU sebagai penyelenggara
pemilu tidak berfungsi. (2) untuk menggantikan peran KPU, pemerintah membentuk
desk pilkada. (3) sebagai konsekuensi pilkada bukan bagian dari rezim pemilu
penggunaan instrumen pilkada tidak digunakan lagi (4) karena bukan rezim
pemilu, sengketa hasil pemilu tidak lagi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
No comments: