Potensi Konflik dan Penyimpangan Pemilihan Kepala Daerah - Ukhy Knowledge

Wednesday, 20 May 2015

Potensi Konflik dan Penyimpangan Pemilihan Kepala Daerah

Pilkada adalah salah satu bentuk desentralisasi demokrasi. Yang didalam terkandung semangat dalam penyelaenggaraan pemerintahan daerah secara otonom. Semangat dalam untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban tugas dalam menangani urusan domestik (Lokal), dan juga agar pemerintah daerah untuk mempelajari bagaimana menagani urusan daerah. Selain itu hal ini juga untuk pembagian tugas, pemerintah pusat bisa lebih fokus pada masalah-masalah nasional, sementara pemerintah daerah dituntut untuk menangani masalah-masalah daerah. Kemudian sebagai nilai-nilai kepercayaan pemerintah pusat atas pemerintah daerah.

Pilkada adalah salah satu bentuk kecirikhasan negara demokrasi. Pilkada adalah pesta rakyat, dimana pemerintahan dimulai dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Namun seperti yang diangkat dalam buku ini, pilkada adalah pesta partai politik. Pemilihan kepala daerah bukanlah suat u bentuk pemilihan individual. Melainkan pemilihan antar kelompok. Yang memiliki potensi yang sangat besar untuk menimbulkan konflik. Pilkada memang menggambarkan bentuk negara sebagai negara demokrasi, namun disisi lain pilkada memunculkan sejumlah ironi atau kejadian yang tidak seharusnya terjadi atau kejadian yang tidak di harapkan.

Salah satu penyebab konlik ini adalah seperti yang dituliskan dalam buku ini, bahwa penyebabnya adalah belum bakunya infastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kontroversialantara partai dan aktor politik yang terkadang ditolak oleh masyarakat sehingga menimbulkan konflik ketika proses pemilihan berlangsung. Faktor yang memicu konflik dalam pengadaan pilkada adalah penggunaaan politik uang (money politics). Dan dampak dari konflik ini seringkali menyebabkan massa pendukung terlibat  dalam ke anarkian. Pemblokadean jalan-jalan cital, bentrok dengan aparat dan lain-lain.


Dalam buku ini juga menjeleskan bagaimana pilkada dalam perspektif hukum yaitu ada empat, yang pertama adalah perdebatan panjang tentang  apakah pilkada itu ditempatkan dalam konstruksi Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 atau Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945?. Yang kedua, pertanggungjawaban KPU(D) yang tidak jelas. Yang ketiga, baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berbagai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri “menga caukan” struktur kelembagaan KPUD dan berpotensi terjadi konflik hukum dan penyimpangan dalam Pilkada. Keempat, secara kelembagaan konstruksi peraturan pilkada tidak kondusif untuk mencegah terjadinya konflik, 37 yakni: (1) kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak berfungsi. (2) untuk menggantikan peran KPU, pemerintah membentuk desk pilkada. (3) sebagai konsekuensi pilkada bukan bagian dari rezim pemilu penggunaan instrumen pilkada tidak digunakan lagi (4) karena bukan rezim pemilu, sengketa hasil pemilu tidak lagi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.

No comments: