Hubungan Internasional Dalam Islam - Ukhy Knowledge

Saturday, 30 May 2015

Hubungan Internasional Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Hubungan Internasional adalah suatu proses interaksi yang terjadi antara dua negara atau lebih untuk menjalin sebuah hubungan kerjasama yang bersifat saling menguntungkan antara belah pihak untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tiap negara yang bersangkutan.
Di dunia barat seperti Eropa, para pemikir orientalis barat di Eropa menafsirkan agama Islam sebagai merupakan agama yang penuh dengan kekerasan dan penghalang perdamaian karena Islam merupakan agama yang mengancam keamanan internasional. Namun hal itu dibantah oleh  sebagian para sarjana Islam di barat, mereka berpendapat bahwa terdapat kesalahpahaman dalam menafsirkan Islam tersebut yang di tafsirkan oleh para orientasi barat. Oleh karena itu, mereka mengadakan suatu penelitian bandingan untuk membantah atas apa yang di ungkapkan oleh para orientalis barat tersebut.
Dalam Islam, hubungan antar negara merupakan suatu kebutuhan yang harus di jalankan untuk menyebarkan agama Islam. Pada zaman Rosulullah, hubungan diplomasi sudah banyak dilakukan. Beberapa utusan dari tiap kaum, pergi untuk menyampaikan pesan dari kaumnya ke kaum lain. seperti antara umat muslim dan quraisy hingga umat nasrani dan kekaisaran romawi. Interaksi-interaksi ini terjadi salah satunya adalah untuk melakukan perjanjian perdamaian dimana ketika zaman kenabian Rasulullah juga terjadi beberapa peperangan antara umat islam dan bangsa quraisy.
                    
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka pada tulisan ini hendak mencari jawaban terhadap pertanyaan:
1.      Apa yang dimaksud Hubungan Internasional Dalam Perpektif Islam?
2.      Bagaimana perang dan Diplomasi dalam Perspektif Islam?
3.      Bagaimana Politik luar negeri dalam Perspektif Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Hubungan Internasional Dalam Islam
Hubungan Internasional adalah suatu proses hubungan antar negara yang dilakukan yang masing-masing negara memiliki kepentingan-kepentingan sendiri, yang mana hubungan ini dilakukan melalui kesepakatan atau perjanjian antara keduanya. Dalam menjalin kesepakatan atau perjanjian, masing-masing pihak memiliki utusan, dalam Islam utusan itu disebut Safir atau Rosul.
Dalam al-qur’an terdapat beberapa ayat yang sangat relevan tentang dasar hukum hubungan internasional, yaitu sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات : 13)
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Menurut ayat tersebut, ada tiga hal mendasar yang perlu dipegang, bahwasanya ummat manusia itu diciptakan berbangsa bangsa dan dengan demikian berbeda-beda baik bahasa maupun kulitnya yang kemudian bangsa-bangsa ini wajib saling kenal mengenal dan moral, bukan wujud fisik atau kekayaan materi, harus dijadikan sebagai standar kehidupan.
Selanjutnya ayat  diatas telah menegaskan bahwa pertama, manusia dan negara seharusnya menganut prinsip universal rahmatan lil alamin, bukan nasionalisme sempit dengan kepentingan nasional negara yang sering menyeret negara kepada hubungan internasional yang paling keji yaitu peperangan yang tidak boleh digunakan sebagai tujuan akhir dalam hubungan internasional. Terlalu mengangung-agungkan nasionalisme akan membawa suatu bangsa ke sikap etnosentris yaitu sikap yang menganggap cara hidup bangsanya merupakan cara hidup yang paling baik dan melupakan kemaslahatan umat dalam skala yang lebih besar.
2.2  Perspektif Islam Terhadap Konflik dan Diplomasi Dalam Hubungan Internasional
            Sejarah peperangan juga mewarnai sejarah islam, karena sejak awal kelahiran agama Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw, Islam sudah ditentang oleh orang Quraisy yang menyangga ajaran itu tidak benar dan sangat bertolak belakang dengan kebiasaan nenek moyang mereka. Jadi wajar saja ketika perkembangan islam semakin pesat, apalagi setelah hijrah Rasulullah ke Madinah dimana kaum Muhajirin dan Anshar bersatu menjadikan perlawanan terhadap islam yang dilakukan oleh kaum Quraisy juga semakin kuat, sehingga terjadi peperangan yang mewarnai sejarah islam hingga sampai akhirnya islam berjaya dan kemudian menguasai 1/3 dunia. Perspektif islam terhadap perang tentu sangat berbeda dengan pandangan kaum realis, karena sebagaimana sebelumnya dikatakan bahwa islam dilandaskan Al-Quran dan hadis jadi dalam melihat perang pun sebagai suatu interaksi ekstrim, Islam memiliki aturannya sendiri. Dalam Islam perang hanya boleh dilakukan jika dalam situasi sangat terpaksa (QS. Al-Baqarah, 2:216), atau adanya penolakan terhadap Islam yang diiringi dengan sikap benci, permusuhan dan ancaman, atau adanya segala bentuk kegiatan yang menghambat perkembangan islam, baik itu menjurus pada bentuk teror, intimidasi dan sebagainya, maka disitulah Allah memerintahkan umat Islam harus berperang dan membela diri[1].
            Mengenai pihak-pihak yang diperangi , Ali Wahbah berpendapat ada tiga kelompok manusia yang boleh diperangi oleh islam, yaitu orang-orang musyrik yang memulai perang terhadap umat islam, pihak yang membatalkan perjanjian dengan cara sepihak, dan musuh-musuh yang mengadakan persekutuan untuk menghancurkan islam dan umatnya. Sedangkan dalam aturan peperangan dapat dirumuskan dari sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh muslim. Dimana dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan etika perang dalam Islam yaitu : perang dilandasi takwa kepada Allah, yang diperangi adalah orang kafir dan musuh islam, tidak menggelapkan rampasan perang, tidak berkhianat, termasuk lari dalam perang, tidak membunuh secara kejam, tidak membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua, terhadap non-islam dan tidak memusuhi islam diberi pilihan masuk islam atau membayar jizyah, atau diperangi.
            Mengenai hubungan diplomatik dalam ajaran islam sendiri hal ini sangat diutamakan karena cara-cara ini merupakan cara damai, dan seperti dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan dari islam itu mengutamakan perdamaian. Meskipun terjadi peperangan, namun hal itu adalah bentuk tindakan defensif dari umat islam dan dalam kondisi yang terdesak. Diplomasi ini salah satu bentuknya adalah pembuatan perjanjian antar bangsa, salah satunya yang terkenal adalah perjanjian Hudaibiyah semasa Rasulullah, dimana islam sendiri sangat menghormati perjanjian dan memerangi pihak yang memutuskan perjanjian secara sepihak seperti dijelaskan sebelumnya. Namun  islam tetap mengutamakan perdamain dari pada perang hubungan diplomasi islam merupakan kerjasama secara damai dan secara inplisit mengandung unsur dakwah dalam pelaksanaanya. Dengan menjalin kerjasama dengan berbagai negara , umat islam atau dar al- Islamdiharapkan dapat menampilkan sosok islam yang simpatik dan sejuk.
            Dalam menyambut dan melaksanakan diplomasi pada saat zaman kenabian sering ditus diplomat atau korps diplomatik sebagai perwakilan dari suatu bangsa. Baik itu islam maupun bangsa lainnya menggunakan jasa para diplomat dalam melakukan interaksi dan diplomasi. Dalam istilah  politik Islam, duta disebut safir atau rasul. Ia menjalankan sejumlah fungsi, antara lain merundingkan Perjanjian, menghadiri acara penobatan, merujukan perselisihan, atau menebus tawanan. Menurut kajian siyasah Islam, duta yang diutus ke wilayah Islam berhak mendapat surat jalan ( sekarang Passpor) tanpa pemberian khusus status aman pada presentasi surat tugasnya. Dan dalam Islam sendiri diplomat sangat dihargai dan diberi kekebalan pribadi yang sempurna, meskipun itu non-muslim atau bahkan musuh Islam sendiri, asalkan kedatangannya sebagai seorang diplomat maka dia akan dilindungi. Nabi Muhammad mencontohkan ini ketika Musailamah al Kadzdzab nabi palsu yang datang sebagai diplomat, walaupun Nabi sedikit jengkel tapi tetap melindunginya, beliau berkata “Kalaulah kamu bukan seorang duta, tentu sudah kuperintahkan kepalamu dipancung”.
Dalam sejarahnya, peran terpenting misi diplomatik Islam adalah arbitrasi yang dalam bahasa arabnya sifarah yang populer disebutkan oleh bangsa Arab sebagai institusi misi diplomatik[2]. Menurut Nasikun[3] dalam bukunya arbitrasi adalah salah satu bentuk pengendalian konflik-konlik yang mana dilakukan dengan cara mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga sebagai wasit yang keputusannya bersifat muthlak harus dipatuhi. Arbitrasi ini sudah lama dilakukan oleh agama Islam dalam pengendalian konflik, yang mana Nabi Muhammad SAW mempunyai fungsi sebagai penengah (arbitrator), seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al-qur’an, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.(النساء:59)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasul memiliki fungsi penengah (arbitrator) kedua setelah Allah SWT (Al-Qur’an).
2.3  Perspektif Islam Dalam Politik Luar Negeri
Dalam tradisi pemikiran Islam klasik dan pertengahan, hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Para teoritis politik Islam mengaitkan kepentingan terhadap negara kenyataan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuannya sehari-hari. Karena itu berdiplomasi atau menjalin hubungan antar negara adalah sebagai bentuk kerjasama sosial, dengan menjadikan wahyu (agama) sebagai pedoman atau rujukan. Tujuannya agar manusia mencapai kebahagiaanya yaiut, material dan spiritual atau dunia dan akhirat.[4]
Pada masa kenabian politik luar negeri atau strategi politik terhadap bangsa atau negara lain adalah berorientasi pada penjagaan perdamaian dan keamanan internal umat islam. Politik luar negeri ditujukan untuk menjaga daerah-daerah umat muslim agar tetap aman.Oleh karena itu ketika itu politik luar negri islam terdiri atas dasar dan tujuan yang kuat untuk mengamankan batas-batas teritorial negara islam selain itu juga sebagai aplikasi sistem jihad fi sabilillah , termasuk perang dan pertempuran secara islami dan tunduk dalam tujuan islam yakni menegakkan kalimat Allah Swt.
Politik luar negri islam juga memiliki beberapa prinsip dasar, selain tidak bertentangan degan Al-Quran dan Hadis. Adapaun prinsip-prinsip terpenting dalam politik luar negeri islam adalah perdamaian menjadi pokok utama hubungan antar negara, tidak memutuskan hubungan damai tersebut, membuat kaidah-kaidah yang menjamin perdamaian, membuat suatu syarat pengakuan kenegaraan dan ketika mengumumkan perang terhadap negara lain tidak khianat.










BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Hubungan Internasional adalah sebuah proses interaksi dua negara atau lebih dengan melakukan sebuah perjanjian atau kesepakatan yang saling menguntungkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan negara yang bersangkutan. dalam islam telah disebutkan bahwa manusia di dunia ini manusia dilahirkan dengan berbangsa-bangsa dengan  bahasa yang berbeda, kulit yang berbeda, ras yang berbeda, dan lain sebagainya. Dan antara bangsa satu dan yang lainnya diwajibkan untuk saling mengenal.
Dan setiap bangsa atau negara harus memiliki prinsip untuk salalu menjalin hubungan dengan bangsa atau negara lain serta menjunjung kepentingan antar negara tanpa melupakan kepentingan nasional. Bukan negara atau bangsa yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, sehingga apabila kepentingannya tidak terlaksanakan sehingga timbul lah konlik atau peperangan.
Dalam Islam peperangan atau konflik dibolehkan hanya ketika keadaan terpasksa yaitu ketika ada penolakan terhadap agama Islam dengan sifat benci, marah, perlawanan serta memberi sebuah ancaman, dan lain sebagainya maka disitulah Allah SWT memerintahkan untuk berperang.
Selain itu untuk dalam berdiplomasi Islam menggunakan proses arbitrasi dalam pengendalian peperangan atau konflik, Rasulullah SWA sebagai penengah (arbitrator) kedua setelah Allah SWT.
Dan untuk politik dalam negeri Islam memiliki prinsip yaitu tidak melencenga atau mnyimpang dari hukum Al-qur’an dan Sunnah. Islam menjunjung tinggi perdamaian, dan dalam suatu perjanjian Islam sangat menentang dengan yang namanya khianat.





DAFTAR PUSTAKA

... (2010). IslamiCity. Diakses mei 23, 2015, dari www.islamicity.com: http://www.islamicity.com/mosque/arabicscript/Ayat/49/49_13.html
Iqbal, M. (2001). Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kamil, S. (2013). Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Penerbit KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
Nasikun. (2012). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali press.
Suntana, I. (2010). Kapita Selekta Politik Islam. Bandung: Penerbit CV Pustaka Setia.






[1] Muhammad Iqbal ,  Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
[2] Dr. Ija Suntana, Kapita Selekta Politik Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), 165.

[3] Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, ( Jakarta : Rajawali Perss, 2012)
[4] Prof.Dr.Sukron Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta : Penerbit KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2013) 3

3 comments: