BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hubungan
Internasional adalah suatu proses interaksi yang terjadi antara dua negara atau
lebih untuk menjalin sebuah hubungan kerjasama yang bersifat saling
menguntungkan antara belah pihak untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tiap
negara yang bersangkutan.
Di
dunia barat seperti Eropa, para pemikir orientalis barat di Eropa menafsirkan
agama Islam sebagai merupakan agama yang penuh dengan kekerasan dan penghalang
perdamaian karena Islam merupakan agama yang mengancam keamanan internasional.
Namun hal itu dibantah oleh sebagian
para sarjana Islam di barat, mereka berpendapat bahwa terdapat kesalahpahaman
dalam menafsirkan Islam tersebut yang di tafsirkan oleh para orientasi barat.
Oleh karena itu, mereka mengadakan suatu penelitian bandingan untuk membantah
atas apa yang di ungkapkan oleh para orientalis barat tersebut.
Dalam
Islam, hubungan antar negara merupakan suatu kebutuhan yang harus di jalankan
untuk menyebarkan agama Islam. Pada zaman Rosulullah, hubungan diplomasi sudah
banyak dilakukan. Beberapa utusan dari tiap kaum, pergi untuk menyampaikan
pesan dari kaumnya ke kaum lain. seperti antara umat muslim dan quraisy hingga
umat nasrani dan kekaisaran romawi. Interaksi-interaksi ini terjadi salah satunya
adalah untuk melakukan perjanjian perdamaian dimana ketika zaman kenabian
Rasulullah juga terjadi beberapa peperangan antara umat islam dan bangsa
quraisy.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam
latar belakang di atas maka pada tulisan ini hendak mencari jawaban terhadap
pertanyaan:
1. Apa
yang dimaksud Hubungan Internasional Dalam Perpektif Islam?
2. Bagaimana
perang dan Diplomasi dalam Perspektif Islam?
3. Bagaimana
Politik luar negeri dalam Perspektif Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hubungan Internasional
Dalam Islam
Hubungan
Internasional adalah suatu proses hubungan antar negara yang dilakukan yang
masing-masing negara memiliki kepentingan-kepentingan sendiri, yang mana
hubungan ini dilakukan melalui kesepakatan atau perjanjian antara keduanya.
Dalam menjalin kesepakatan atau perjanjian, masing-masing pihak memiliki
utusan, dalam Islam utusan itu disebut Safir atau Rosul.
Dalam
al-qur’an terdapat beberapa ayat yang sangat relevan tentang dasar hukum
hubungan internasional, yaitu sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات : 13)
Artinya : Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menurut
ayat tersebut, ada tiga hal mendasar yang perlu dipegang, bahwasanya ummat
manusia itu diciptakan berbangsa bangsa dan dengan demikian berbeda-beda baik
bahasa maupun kulitnya yang kemudian bangsa-bangsa ini wajib saling kenal
mengenal dan moral, bukan wujud fisik atau kekayaan materi, harus dijadikan
sebagai standar kehidupan.
Selanjutnya
ayat diatas telah menegaskan bahwa
pertama, manusia dan negara seharusnya menganut prinsip universal rahmatan
lil alamin, bukan nasionalisme sempit dengan kepentingan nasional negara
yang sering menyeret negara kepada hubungan internasional yang paling keji
yaitu peperangan yang tidak boleh digunakan sebagai tujuan akhir dalam hubungan
internasional. Terlalu mengangung-agungkan nasionalisme akan membawa suatu
bangsa ke sikap etnosentris yaitu sikap yang menganggap cara hidup bangsanya
merupakan cara hidup yang paling baik dan melupakan kemaslahatan umat dalam
skala yang lebih besar.
2.2
Perspektif Islam Terhadap Konflik dan Diplomasi Dalam Hubungan
Internasional
Sejarah peperangan juga mewarnai
sejarah islam, karena sejak awal kelahiran agama Islam yang dibawakan oleh
Rasulullah Saw, Islam sudah ditentang oleh orang Quraisy yang menyangga ajaran
itu tidak benar dan sangat bertolak belakang dengan kebiasaan nenek moyang
mereka. Jadi wajar saja ketika perkembangan islam semakin pesat, apalagi
setelah hijrah Rasulullah ke Madinah dimana kaum Muhajirin dan Anshar bersatu menjadikan
perlawanan terhadap islam yang dilakukan oleh kaum Quraisy juga semakin kuat,
sehingga terjadi peperangan yang mewarnai sejarah islam hingga sampai akhirnya
islam berjaya dan kemudian menguasai 1/3 dunia. Perspektif islam terhadap
perang tentu sangat berbeda dengan pandangan kaum realis, karena sebagaimana
sebelumnya dikatakan bahwa islam dilandaskan Al-Quran dan hadis jadi dalam
melihat perang pun sebagai suatu interaksi ekstrim, Islam memiliki aturannya
sendiri. Dalam Islam perang hanya boleh dilakukan jika dalam situasi sangat
terpaksa (QS. Al-Baqarah, 2:216), atau adanya penolakan terhadap Islam yang
diiringi dengan sikap benci, permusuhan dan ancaman, atau adanya segala bentuk
kegiatan yang menghambat perkembangan islam, baik itu menjurus pada bentuk
teror, intimidasi dan sebagainya, maka disitulah Allah memerintahkan umat Islam
harus berperang dan membela diri[1].
Mengenai pihak-pihak yang diperangi , Ali Wahbah berpendapat ada tiga kelompok
manusia yang boleh diperangi oleh islam, yaitu orang-orang musyrik yang memulai
perang terhadap umat islam, pihak yang membatalkan perjanjian dengan cara
sepihak, dan musuh-musuh yang mengadakan persekutuan untuk menghancurkan islam
dan umatnya. Sedangkan dalam aturan peperangan dapat dirumuskan dari sabda
Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh muslim. Dimana dari hadis tersebut dapat
ditarik kesimpulan etika perang dalam Islam yaitu : perang dilandasi takwa
kepada Allah, yang diperangi adalah orang kafir dan musuh islam, tidak
menggelapkan rampasan perang, tidak berkhianat, termasuk lari dalam perang,
tidak membunuh secara kejam, tidak membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua,
terhadap non-islam dan tidak memusuhi islam diberi pilihan masuk islam atau
membayar jizyah, atau diperangi.
Mengenai hubungan diplomatik dalam ajaran islam sendiri hal ini sangat
diutamakan karena cara-cara ini merupakan cara damai, dan seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa tujuan dari islam itu mengutamakan perdamaian. Meskipun
terjadi peperangan, namun hal itu adalah bentuk tindakan defensif dari umat
islam dan dalam kondisi yang terdesak. Diplomasi ini salah satu bentuknya
adalah pembuatan perjanjian antar bangsa, salah satunya yang terkenal adalah
perjanjian Hudaibiyah semasa Rasulullah, dimana islam sendiri sangat
menghormati perjanjian dan memerangi pihak yang memutuskan perjanjian secara
sepihak seperti dijelaskan sebelumnya. Namun islam tetap mengutamakan
perdamain dari pada perang hubungan diplomasi islam merupakan kerjasama secara
damai dan secara inplisit mengandung unsur dakwah dalam pelaksanaanya. Dengan
menjalin kerjasama dengan berbagai negara , umat islam atau dar al- Islamdiharapkan
dapat menampilkan sosok islam yang simpatik dan sejuk.
Dalam menyambut dan melaksanakan diplomasi pada saat zaman kenabian sering
ditus diplomat atau korps diplomatik sebagai perwakilan dari suatu bangsa. Baik
itu islam maupun bangsa lainnya menggunakan jasa para diplomat dalam melakukan
interaksi dan diplomasi. Dalam istilah
politik Islam, duta disebut safir atau rasul. Ia
menjalankan sejumlah fungsi, antara lain merundingkan Perjanjian, menghadiri
acara penobatan, merujukan perselisihan, atau menebus tawanan. Menurut kajian
siyasah Islam, duta yang diutus ke wilayah Islam berhak mendapat surat jalan (
sekarang Passpor) tanpa pemberian khusus status aman pada presentasi
surat tugasnya. Dan dalam Islam sendiri diplomat sangat dihargai dan diberi
kekebalan pribadi yang sempurna, meskipun itu non-muslim atau bahkan musuh
Islam sendiri, asalkan kedatangannya sebagai seorang diplomat maka dia akan
dilindungi. Nabi Muhammad mencontohkan ini ketika Musailamah al Kadzdzab nabi
palsu yang datang sebagai diplomat, walaupun Nabi sedikit jengkel tapi tetap
melindunginya, beliau berkata “Kalaulah kamu bukan seorang duta, tentu sudah
kuperintahkan kepalamu dipancung”.
Dalam
sejarahnya, peran terpenting misi diplomatik Islam adalah arbitrasi yang dalam
bahasa arabnya sifarah yang populer disebutkan oleh bangsa Arab sebagai
institusi misi diplomatik[2].
Menurut Nasikun[3]
dalam bukunya arbitrasi adalah salah satu bentuk pengendalian konflik-konlik
yang mana dilakukan dengan cara mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak
ketiga sebagai wasit yang keputusannya bersifat muthlak harus dipatuhi.
Arbitrasi ini sudah lama dilakukan oleh agama Islam dalam pengendalian konflik,
yang mana Nabi Muhammad SAW mempunyai fungsi sebagai penengah (arbitrator),
seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al-qur’an, sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.(النساء:59)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasul
memiliki fungsi penengah (arbitrator) kedua setelah Allah SWT (Al-Qur’an).
2.3
Perspektif Islam Dalam Politik Luar Negeri
Dalam
tradisi pemikiran Islam klasik dan pertengahan, hubungan agama dan negara
merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa
dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Para teoritis
politik Islam mengaitkan kepentingan terhadap negara kenyataan manusia sebagai
makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuannya sehari-hari. Karena itu
berdiplomasi atau menjalin hubungan antar negara adalah sebagai bentuk
kerjasama sosial, dengan menjadikan wahyu (agama) sebagai pedoman atau rujukan.
Tujuannya agar manusia mencapai kebahagiaanya yaiut, material dan spiritual
atau dunia dan akhirat.[4]
Pada
masa kenabian politik luar negeri atau strategi politik terhadap bangsa atau
negara lain adalah berorientasi pada penjagaan perdamaian dan keamanan internal
umat islam. Politik luar negeri ditujukan untuk menjaga daerah-daerah umat
muslim agar tetap aman.Oleh karena itu ketika itu politik luar negri islam
terdiri atas dasar dan tujuan yang kuat untuk mengamankan batas-batas
teritorial negara islam selain itu juga sebagai aplikasi sistem jihad fi
sabilillah , termasuk perang dan pertempuran secara islami dan tunduk dalam
tujuan islam yakni menegakkan kalimat Allah Swt.
Politik
luar negri islam juga memiliki beberapa prinsip dasar, selain tidak bertentangan
degan Al-Quran dan Hadis. Adapaun prinsip-prinsip terpenting dalam politik luar
negeri islam adalah perdamaian menjadi pokok utama hubungan antar negara, tidak
memutuskan hubungan damai tersebut, membuat kaidah-kaidah yang menjamin
perdamaian, membuat suatu syarat pengakuan kenegaraan dan ketika mengumumkan
perang terhadap negara lain tidak khianat.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hubungan
Internasional adalah sebuah proses interaksi dua negara atau lebih dengan
melakukan sebuah perjanjian atau kesepakatan yang saling menguntungkan untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan negara yang bersangkutan. dalam islam telah
disebutkan bahwa manusia di dunia ini manusia dilahirkan dengan
berbangsa-bangsa dengan bahasa yang
berbeda, kulit yang berbeda, ras yang berbeda, dan lain sebagainya. Dan antara
bangsa satu dan yang lainnya diwajibkan untuk saling mengenal.
Dan
setiap bangsa atau negara harus memiliki prinsip untuk salalu menjalin hubungan
dengan bangsa atau negara lain serta menjunjung kepentingan antar negara tanpa
melupakan kepentingan nasional. Bukan negara atau bangsa yang hanya
mementingkan kepentingannya sendiri, sehingga apabila kepentingannya tidak
terlaksanakan sehingga timbul lah konlik atau peperangan.
Dalam
Islam peperangan atau konflik dibolehkan hanya ketika keadaan terpasksa yaitu
ketika ada penolakan terhadap agama Islam dengan sifat benci, marah, perlawanan
serta memberi sebuah ancaman, dan lain sebagainya maka disitulah Allah SWT
memerintahkan untuk berperang.
Selain
itu untuk dalam berdiplomasi Islam menggunakan proses arbitrasi dalam
pengendalian peperangan atau konflik, Rasulullah SWA sebagai penengah
(arbitrator) kedua setelah Allah SWT.
Dan
untuk politik dalam negeri Islam memiliki prinsip yaitu tidak melencenga atau
mnyimpang dari hukum Al-qur’an dan Sunnah. Islam menjunjung tinggi perdamaian,
dan dalam suatu perjanjian Islam sangat menentang dengan yang namanya khianat.
DAFTAR
PUSTAKA
... (2010). IslamiCity. Diakses mei 23,
2015, dari www.islamicity.com:
http://www.islamicity.com/mosque/arabicscript/Ayat/49/49_13.html
Iqbal, M. (2001). Fiqh Siyasah Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kamil, S. (2013). Pemikiran Politik Islam Tematik.
Jakarta: Penerbit KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
Nasikun. (2012). Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: Rajawali press.
Suntana, I. (2010). Kapita Selekta Politik
Islam. Bandung: Penerbit CV Pustaka Setia.
[1]
Muhammad Iqbal , Fiqh
Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001)
[2] Dr.
Ija Suntana, Kapita Selekta Politik Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2010), 165.
[4] Prof.Dr.Sukron
Kamil, M.A., Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta : Penerbit
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2013) 3
thx~
ReplyDeleteSyukron
ReplyDeletemakasih kak sdh membantu
ReplyDelete